Senin, 17 Maret 2014

Melemahnya Identitas Nasional

Nama: Puji Lestari

NIM: A1B113045

Prodi: Pendidikan Bahasa dan sastra Indonesia

 

Presiden SBY Marah Atas Klaim Malaysia

Sebelumnya Malaysia klaim angklung, reog Ponorogo, batik, Hombo Batu, dan Tari Folaya.

Selasa, 25 Agustus 2009, 13:52Siswanto, Muhammad Hasits
 
 (VIVAnews/Tri Saputro)
VIVAnews – Presiden Susilo Bambang Yudhoyono memberi perhatian serius terhadap klaim Malaysia atas Tari Pendet yang digunakan dalam iklan Visit to Malaysia.

“Ya iyalah,” kata Menteri Kebudayaan dan Pariwisata, Jero Wacik, ketika ditanya apakah Presiden SBY marah atas sikap Malaysia itu.

Hal itu diungkapkan Jero Wacik sebelum mengikuti rapat internal dengan Presiden SBY yang juga dihadiri Menteri Luar Negeri; Hassan Wirajuda, Menteri Sekretaris Negara; Hatta Radjasa, dan Menteri Sekretaris Kabinet; Sudi Silalahi, di Kantor Kepresidenan, Selasa 25 Agustus 2009.

Jero Wacik juga belum bersedia menjelaskan apakah rapat tertutup siang ini untuk membahas secara khusus klaim Malaysia terhadap tari tradisional asal Provinsi Bali itu.

Sebelumnya, klaim-klaim kebudayaan Indonesia juga pernah dilakukan negeri itu.

Inilah Daftar Budaya Indonesia Yang Diklaim Malaysia Belakangan ini Indonesia dan Malaysia tengah diramaikan dengan masalah klaim budaya. Pasalnya beberapa budaya Indonesia telah diklaim Malaysia dan diakui sebagai budaya Negeri Jiran tersebut. Beberapa kali Malaysia kedapatan mengklaim budaya Indonesia sebagai budaya mereka. Padahal berbagai macam bukti dan arsip menyatakan bahwa budaya tersebut adalah budaya dari Indonesia. Berikut daftar budaya Indonesia yang diklaim oleh Malaysia:
 1. Batik Klaim Malaysia terhadap batik membuat pengrajin batik Indonesia resah. Padahal menutur sejarah, batik itu asli milik Indonesia. Agar klaim Malaysia ini bisa teratasi, Indonesia akhirnya mencantumkan batik sebagai Warisan Budaya tak Benda (Intangible Cultural Heritage) di UNESCO.
 2. Tari Pendet Malaysia mengklaim tari pendet sebagai iklan promosi kunjungan ke Malasyia “Visit Malaysia Years”. Padahal sudah jelas, tari pendet adalah budaya dari Bali, Indonesia.
 3. Wayang Kulit Malaysia pernah mengklaim wayang kulit sebagai budayanya. Padahal sudah jelas wayang kulit ini adalah budaya khas Jawa. Pertunjukan wayang kulit telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 27 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi.
4. Angklung Angklung adalah budaya khas dari masyarakat Sunda, Jawa Barat, Indonesia. Warisan leluhur ini juga pernah diklaim oleh Malaysia.
5. Reog Ponorogo Reog Ponorogo khas Jawa Timur ini pernah heboh lantaran muncul di Negeri Jiran. Namun, pada akhir November 2007, Dubes Malaysia untuk Indonesia Datuk Zanal Abidin Muhammad Zain menyatakan negaranya tidak mengklaim Reog Ponorogo sebagai budayanya.
 6. Kuda Lumping Kuda lumping adalah tarian khas Jawa, Indonesia. Namun beberapa kaum Jawa yang pindah ke Singapura juga mewariskan tarian ini pada generasinya di Singapura. Namun kuda lumping ini tetap budaya Indonesia.
7. Keris Keris adalah salah satu senjata para raja Majapahit. Wilayah yang paling banyak memakai keris adalah Jawa, Madura, Nusa Tenggara, Sumatera, Pesisir Kalimantan dan Sulawesi.
 8. Rendang Padang Rendang padang adalah salah satu masakan tradisional Minangkabau dan biasanya bisa ditemukan di seluruh Rumah Makan Padang di Indonesia.
 9. Gamelan Jawa Gamelan Jawa adalah salah satu alat musik khas Jawa yang terdiri dari berbagai macam alat musik. Ada gong, bonang, rebab, dan masih ada yang lain. Biasa digunakan untuk mengiringi acara wayang.
10. Tari Piring Tari piring ini adalah salah satu seni tari tradisional di Minangkabau yang berasal dari kota Solok, provinsi Sumatera Barat.
11. Ulos Ulos atau kain ulos adalah salah satu busana khas Indonesia. Ulos secara turun temurun dikembangkan oleh masyarakat Batak, Sumatera, Indonesia. Selain budaya dalam bentuk tari dan seni rupa, beberapa lagu khas Indonesia juga pernah diklaim oleh Malaysia. Berikut daftar lagu tradisional khas Indonesia yang diklaim oleh Malaysia: - Lagu Rasa Sayange - Lagu Soleram dari Riau - Lagu Injit-injit Semut dari Jambi - Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara - Lagu Jali-jali Itulah budaya-budaya Indonesia yang pernah diklaim Malaysia sebagai budaya mereka. Relakah kamu budaya Indonesia menjadi budaya Malaysia?




Rujukan:
















Komentar:
Menurut pendapat saya, Banyak warga Indonesia yang kebakaran jenggot (walau aslinya mungkin tak punya jenggot) ketika mendengar kabar soal tari Pendet dan berbagai kebudayaan lain yang diklaim negara tetangga Malaysia. Menurut saya malah kita harus bersyukur, karena klaim Malaysia tentang sesuatu yang jelas-jelas merupakan milik Indonesia, sebenarnya merupakan pengakuan terselubung dari negeri jiran itu. Pengakuan bahwa Indonesia memiliki kekayaan budaya yang fantastis. Pengakuan bahwa Malaysia sebenarnya sangat miskin dengan budaya, dan saking miskinnya maka milik orang lain pun diakui.
Yang jadi masalah jika pemerintah dan rakyat Indonesia bahkan presiden kita yaitu bapak Susilo Bambang Yudiono baru berkoar-koar “SETELAH” Malaysia mengklaim. Sejauh ini, jujur saja, saya tidak melihat kepedulian pemerintah pada eksistensi tari Pendet atau kebudayaan lainnya. Dan harus juga diakui, kepedulian rakyat (jujur saja termasuk saya) juga sebenarnya nol untuk tari Pendet dan berbagai kebudayaan yang diklaim Malaysia. Mungkin karena menganggap bahwa tari Pendet itu urusannya rakyat Bali. Dan setelah diklaim, barulah kita meradang!!
Kasus tari Pendet dan berbagai kebudayaan lainnya ini seharusnya menjadi pelajaran buat kita semua, untuk peduli pada kesenian dan budaya daerah. Jangan sampai kepedulian itu muncul sebagai reaksi, hanya setelah diusik Malaysia.
Dengan kata lain, jika Malaysia tak bertindak lancang, belum tentu masyarakat dan pemerintah tergerak hatinya untuk, paling tidak, mengupayakan hak cipta bagi sejumlah produk budaya Indonesia. Jadi, dalam hal ini setidaknya dijadikan untuk sala satu cara bersykur telah diingatkan.
Dari kasus tersebut dapat diketahui bahwa identitas nasional bangsa indonesia telah mengalami kelunturan. Saya menganggap bahwa rasa nasionalisme dan identitas bersama sebagai warga negara indonesia masih sangat kurang. Hal tersebut menyebabkan mudahnya indonesia dijadikan sasaran dari pihak luar yang bertujuan memecah belah bangsa ini sehingga bangsa indonesia hancur. Oleh karena lunturnya rasa nasionalisme dan terjadinya krisis identitas nasional di kalangan rakyat indonesia saat ini terutama generasi muda diharapkan juga peran serta pemerintah dalam menyelesaikan masalah tersebut selain peran warga negaranya sendiri. Dari banyaknya kasus-kasus yang mengancam identitas nasional dan kesatuan tanah air indonesia, maka kita sebagai generasi muda harus berusaha untuk mempertahankan nilai- nilai budaya yang telah ada dan terus menjaga dan melestarikannya. Kita harus menyadari bahwa kita sebagai bangsa indonesia memiliki keanekaragaman budaya yang harus dipertahankan dan menjadi ciri dari bangsa indonesia, dan kita harus bangga menjadi bagian dari tanah air kita yaitu “Indonesia”.














Selasa, 24 Desember 2013

Hukuman Sosial Bagi Para Koruptor

Hukuman Sosial Bagi Para Koruptor

 Ketika negara terlalu berpihak dan menguntungkan koruptor, timbul spirit dan gagasan baru dari masyarakat sendiri untuk ”menghukum” pelaku korupsi. Sebagian besar publik menyerukan perlunya penerapan sanksi sosial bagi koruptor, meski dinilai belum tentu efektif.
Pemberantasan korupsi menjadi agenda besar pemerintah yang tampaknya terus mengalami ganjalan. Di luar soal polemik institusi, yaitu ”perseteruan” Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kepolisian RI, ada pula persoalan sistemis, yakni penanganan dan pemidanaan pelaku korupsi. Ringannya hukuman bagi koruptor menjadikan publik belum bisa mengapresiasi sepenuhnya langkah-langkah pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
Catatan Koalisi Masyarakat Sipil menyebutkan, hingga Agustus 2012 sebanyak 71 terdakwa korupsi melenggang bebas di pengadilan tindak pidana korupsi. Kalaupun dihukum, mayoritas vonis hukuman bagi koruptor 1-2 tahun. Dengan demikian, cukup mudah bagi para koruptor melewati ”masa penderitaan” ketimbang pelaku kriminal biasa yang bisa mencapai beberapa kali lipat masa hukumannya.
Tiga dari empat responden jajak pendapat melihat kadar vonis yang dijatuhkan bagi pelaku korupsi masih terlalu ringan dan dinilai tidak memberikan efek jera. Tidak heran, sinisme terhadap upaya pemberantasan korupsi tercermin kuat dari jajak pendapat kali ini. Hampir seluruh responden (89,9 persen) yang dihubungi di berbagai kota mengungkapkan ketidakpuasan akan situasi pemidanaan pelaku korupsi saat ini.
Pukulan telak bagi proses wacana dan gerakan pemberantasan korupsi bertambah saat sejumlah bekas terdakwa atau narapidana justru tetap bisa mengemban jabatan-jabatan publik. Peristiwa paling baru adalah pengangkatan Azirwan yang pernah dipidana 2,5 tahun penjara dalam kasus suap sebagai Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepulauan Riau. Pemerintah berpedoman pada argumen ketentuan dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak diberhentikan. Dari sisi aturan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi undang-undang.
Namun, dari aspek moral dan etika, promosi ini dipandang tidak patut. Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada etika politik. Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral.
Aspek tanggung jawab dan kewajiban berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat antikorupsi.
Promosi jabatan bagi Azirwan tak pelak menjadi pertanyaan besar tentang keseriusan pemerintah dan konsistensi sistem hukum dalam upaya pembersihan korupsi di negeri ini. Hebatnya lagi, Azirwan bukanlah satu-satunya contoh bagaimana koruptor masih mendapatkan ruang gerak di negeri ini. Dalam dua tahun terakhir sedikitnya terdapat enam pejabat publik yang tetap dilantik meski terjerat kasus korupsi. Sejak disuarakan saat reformasi, publik terus menanti kemerdekaan negeri ini dari praktik yang telah menggerogoti moralitas bangsa. Sayangnya, tingginya asa masyarakat masih berjarak dengan kondisi realitas sesungguhnya.
Karena itu, tak heran bahwa publik melihat kini saatnya mekanisme ”hukuman sosial” diterapkan bagi koruptor. Sejauh ini hukuman sosial yang dimaksudkan adalah bentuk hukuman yang lebih bersifat sanksi di luar proses hukum positif. Artinya, hukuman itu berada di ranah nonformal sistem peradilan. Meskipun demikian, tak tertutup pula bentuk hukuman sosial menjadi salah satu bagian dari proses pemidanaan dalam kasus korupsi.
Gagasan bentuk hukuman sosial yang paling banyak disetujui responden adalah pengumuman koruptor di media massa, seperti televisi atau koran. Nyaris seluruh responden (92,8 persen) menyetujui bentuk hukuman tersebut. Bentuk berikutnya adalah mengajak masyarakat untuk tidak memilih pejabat korup dalam semua kontestasi politik. Terhadap bentuk itu, sebanyak 82,3 persen responden menyetujui. Bentuk ketiga paling ekstrem, yaitu mengucilkan dari pergaulan masyarakat, cenderung kurang disetujui.
Dibanding hukuman badan (penjara), hukuman sosial memang kurang dinilai efektif meredam aksi korupsi. Bagian terbesar publik jajak pendapat ini tetap melihat perlunya pengenaan hukuman badan yang lebih tegas ketimbang sekadar pengenaan hukuman sosial. Meski demikian, bercermin dari lemahnya aturan dan sistem hukum, sepertiga bagian responden menegaskan perlunya kedua mekanisme itu diterapkan bersamaan.
Penerapan hukuman sosial oleh masyarakat memang bisa dimaknai sebagai sebuah ”perlawanan publik” atas rasa putus asa publik terhadap kebijakan negara yang terlalu longgar bagi pelaku korupsi. Lebih jauh, korupsi dan berbagai penyimpangan etika dalam konteks politik bisa membahayakan perjalanan demokrasi karena menimbulkan krisis kepercayaan terhadap parlemen, bahkan negara.
Hukuman sosial bagi koruptor, menurut pengamat politik Universitas Airlangga, Kacung Maridjan, menyiratkan arti ”dipenjara” secara sosial, tetapi memiliki dampak yang tidak kalah dahsyat dibanding hukuman penjara fisik. Contohnya, kepala daerah yang terbukti korup bisa dihukum untuk menjadi tukang bersih-bersih kantor di tempat mereka menjadi kepala daerah dalam kurun tahun tertentu (Kompas, 24/8).
Selain rasa tidak puas, minornya pemberantasan korupsi dan keberpihakan kebijakan kepada pelaku korupsi menggugah kesadaran masyarakat untuk memberikan hukuman dengan caranya sendiri. Selama ini, penyelenggara negara dinilai terlalu permisif terhadap pelaku korupsi. Menilik fakta yang terjadi, aturan hukum dan komitmen aparatnya menjadi celah yang dapat dimanfaatkan koruptor untuk kembali menduduki posisinya.
Pengangkatan mantan narapidana korupsi dan sejumlah kebijakan permisif terkait praktik korupsi bisa mengikis moralitas bangsa. Etika dan moralitas politik bukan lagi menjadi pedoman utama dalam kehidupan bernegara. Tidak hanya korupsi, tetapi juga berbagai polah tingkah politisi dan pejabat publik yang dinilai mulai menanggalkan etika dalam berpolitik.
Mayoritas responden menilai perlu larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi PNS. Larangan tegas terhadap narapidana korupsi untuk menjadi pejabat publik itu dimaksudkan agar muncul kepastian hukum untuk membangun moralitas politik yang lebih baik.